Ada banyak kisah miris di negeri ini. Kisah tentang hak asasi manusia dan disabilitas yang mengundang simpati. Perlakuan tidak selayaknya mereka dapatkan hanya karena keterbatasan fisik para penyandang disabilitas.
Salah satu kisah itu tentang Joni Badut. Cerita hidupnya sempat viral di media sosial dan kemudian marak diberitakan di berbagai media online. Bermula dari akun TikTok @joiwaypeduli yang mengangkat kisahnya pada awal Juni 2023.
Joni Badut, yang bernama asli Taher Suhendra, ketika itu ditemui sedang mengemis di pinggiran jalanan ibu kota. Mengenakan kostum badut berwarna hitam, wajahnya dicat warna-warni. Ada sebuah kardus di hadapannya, pandangan lelaki berusia 54 tahun itu terlihat sendu dan lelah.
Joni Badut bercerita, sejak kecil hingga sekarang tidak pernah mengenal orang tuanya. Ia dibuang dan hidup terkatung-katung sebatang kara di Jakarta.
“Mungkin karena fisik saya seperti ini makanya dibuang. Mereka pasti malu memiliki anak seperti saya,” ujar Joni Badut sambil melihat tubuh mungilnya dan kedua kaki yang bengkok sejak lahir.
Dulu, ketika masih muda, Joni Badut sering kali memenuhi panggilan ke mal atau ulang tahun anak. Ia pun menghibur dengan kostum badutnya dan mendapat bayaran yang lumayan. Namun, seiring usianya dan pandemi COVID-19 yang melanda beberapa tahun lalu, panggilan terhadap Joni Badut semakin berkurang. Ia akhirnya lebih banyak menghabiskan waktu dengan mengemis di pinggir jalan sembari memakai kostum badut.
“Jujur saya sih malu ngapain saya nongkrong kaya gini, karena terpaksa. Yang penting saya halal, enggak ngerepotin orang,” ujarnya lirih.
Joni Badut menuturkan bahwa perlakuan diskriminatif sering kali ia terima. Karena kondisi fisik dan profesinya, banyak orang meremehkannya. Bahkan, ia pernah tertangkap tangan oleh Satpol PP karena mengemis. Joni Badut pun kemudian mendekam di sel tahanan selama dua pekan.
“Baru kemarin ditangkap (Satpol PP) gara-gara begini juga,” katanya.
Kini, usianya tak muda lagi. Namun, Joni Badut masih harus bergelut dalam kemiskinan dan ketidakpastian masa depan. Tak ada dukungan sosial dari orang-orang sekitarnya. Bahkan, negara yang seharusnya berkewajiban memberi perlindungan, seakan berlepas tangan membiarkan Joni Badut dalam kesendirian.
Contents
Peran Negara dan Stigma di Masyarakat
Getirnya hidup Joni Badut adalah potret bagaimana hak asasi manusia dan disabilitas sering kali tidak mendapat perhatian yang layak. Indonesia, yang notabenenya adalah negara dengan jumlah penyandang disabilitas tertinggi di kawasan Asia Tenggara, tergolong masih rendah tingkat kepeduliannya.
Meski Indonesia telah memperbarui regulasi mengenai hak asasi manusia dan disabilitas melalui Undang-Undang Penyandang Disabilitas Tahun 2016, pada tataran praktiknya hal ini belum berjalan optimal.
Banyak penyandang disabilitas yang tidak menerima hak-hak asasinya seperti kesehatan, pendidikan, layanan publik, dan lapangan kerja yang layak. Mereka tidak memperoleh kesempatan yang sama dengan non-disabilitas.
Kondisi ini semakin bertambah buruk dengan stigma negatif yang masih langgeng di masyarakat. Stigma tersebut menempatkan penyandang disabilitas sebagai objek dalam pergaulan sosial.
Penyandang disabilitas dianggap hanya membawa malu bagi keluarga atau kerabatnya sehingga mereka sering mengalami pengasingan, tidak mendapat perlakuan manusiawi, serta terlantar dalam kemiskinan dan kebodohan.
Hak Asasi Manusia dan Disabilitas
Inikah masa depan bagi hak asasi manusia dan disabilitas di negeri ini? Jawabannya tentu tidak. Penyandang disabilitas berhak mandiri dan berkarya sesuai potensi yang telah Tuhan berikan. Keterbatasan fisik mereka bukan alasan untuk mencabut hak-hak asasinya.
Jika ditelaah lebih lanjut, hak asasi manusia dan disabilitas mencakup tiga aspek penting: aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis.
Aspek Filosofis
Setiap manusia terlahir mulia dan memiliki hak asasi yang tidak boleh diambil atau dihilangkan oleh manusia lain. John Locke, seorang filsuf abad ke-17 dari Inggris, mengatakan bahwa manusia memiliki kodrat yang membuatnya setara dalam hak dan kesempatan.
Disabilitas dan non-disabilitas tidak boleh dibeda-bedakan terkait hak asasinya. Artinya, perlakuan diskriminatif terhadap penyandang disabilitas sama saja merendahkan hakikat atau nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
Aspek Yuridis
Jika mengacu pada UUD 1945 beserta turunannya, para pendiri bangsa Indonesia memiliki kepekaan dan penghormatan yang tinggi terhadap hak asasi manusia (HAM). Ada pasal-pasal yang tegas mengatur penegakan HAM secara komprehensif, termasuk hak asasi bagi penyandang disabilitas. Contohnya, Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Amanat konstitusi yang berpihak pada hak asasi manusia dan disabilitas ini hendaknya menjadi tolok ukur dalam merumuskan setiap peraturan perundang-undangan. Undang-undang atau regulasi yang tidak menempatkan penyandang disabilitas sebagaimana mestinya, harus diubah dengan regulasi yang pro kesetaraan.
Aspek Sosiologis
Pancasila mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Sila kelima Pancasila, yaitu “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” amat relevan dengan setiap upaya menjaga serta memperjuangkan keadilan bagi penyandang disabilitas.
Upaya tersebut dapat dimulai dengan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai agar kualitas hidup mereka meningkat. Selain itu, memberikan kesempatan yang sama dengan non-disabilitas dalam kehidupan bermasyarakat, dengan tetap memperhatikan kebutuhan khusus mereka.
Kesimpulan
Ketiga aspek ini, jika dipahami dan diaplikasikan secara serius, akan memastikan hak asasi manusia dan disabilitas di negeri ini terjaga dengan baik. Negara adalah penanggung jawab utamanya. Pun setiap masyarakat memikul tanggung jawab serupa agar kisah getir seperti kehidupan Joni Badut tidak lagi terdengar.