Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, pada tahun 2017 terdapat sekitar 8 juta penduduk Indonesia yang mengalami gangguan penglihatan, dengan rincian 1,6 juta orang mengalami kebutaan dan 6,4 juta orang mengalami gangguan penglihatan sedang hingga berat. Disabilitas penglihatan umumnya diklasifikasikan menjadi dua kategori utama, yaitu buta total (total blindness) dan low vision (penglihatan rendah). Buta total adalah kondisi ketika seseorang tidak dapat melihat cahaya sama sekali (no light perception). Sedangkan low vision merupakan kondisi penurunan fungsi penglihatan yang signifikan meskipun telah menggunakan alat bantu optik, dengan ketajaman visual kurang dari 6/18 hingga persepsi cahaya, namun tidak sampai buta total.
Lantas, apakah disabilitas penglihatan masih punya harapan untuk dapat kembali melihat seperti biasa?
Berdasarkan sejumlah referensi medis, disimpulkan bahwa kemungkinan fungsi penglihatan kembali normal tergantung pada beberapa faktor.
- Penyebab kebutaan yang dialami
- Tingkat keparahan gangguan
- Usia orang yang mengalaminya
- Penanganan medis yang dilakukan
- Asupan nutrisi
Contents
Penyebab Munculnya Disabilitas Buta secara Bawaan
Banyak hal yang dapat menyebabkan seseorang jadi penyandang disabilitas buta. Secara umum, penyebab disabilitas buta terbagi menjadi dua: bawaan sejak lahir (kongenital) dan non bawaan (didapat setelah lahir).
Buta bawaan adalah gangguan penglihatan yang terjadi sejak dalam kandungan. Faktor penyebab buta bawaan mencakup kelainan genetik, infeksi intrauterin (terutama TORCH), dan paparan zat toksik selama kehamilan. Meskipun buta bawaan terbilang jarang terjadi, pada sebagian besar kasus harapan kesembuhannya sangat rendah, bahkan tidak ada. Beberapa contoh disabilitas buta bawaan tersebut, antara lain:
Anophthalmia
Secara sederhana anophthalmia ini adalah kondisi seseorang yang tidak memiliki organ mata, baik pada salah satu mata maupun pada kedua mata. Dari sekian kasus anophthalmia, umumnya disebabkan oleh infeksi virus penyakit rubella atau cacar air yang dialami ibu saat hamil. Keterlambatan dalam penanganan medis, seringkali menimbulkan dampak fatal pada proses pembentukan organ tubuh bayi dalam kandungan. Dampaknya tergantung usia kehamilan dan jenis infeksinya.
Hingga saat ini, anophthalmia belum dapat disembuhkan secara medis. Bahkan, penggunaan bola mata buatan umumnya digunakan untuk tujuan estetika saja, bukan untuk melihat.
Koloboma
Merupakan permasalahan mata serius akibat area jaringan mata hilang atau tidak menutup secara sempurna (dalam kondisi normal area ini harus berbentuk bulat sempurna). Umumnya koloboma ini menyerang iris. Sehingga membuat pupil mata yang seharusnya berbentuk bulat menjadi tidak beraturan.
Koloboma dapat terjadi pada satu atau kedua mata dan biasanya bersifat bawaan. Meski tidak bersifat progresif, koloboma dapat disertai kelainan struktural lain yang memperburuk penglihatan. Akibat yang ditimbulkan berupa kerusakan saraf optik yang berujung kebutaan total. Tetapi pada sebagian pasien ada yang tetap bisa melihat walau sangat terbatas.
Mikrophthalmia
Hampir mirip dengan anophthalmia. Bedanya, pada mikrophthalmia organ mata tetap ada namun ukurannya sangat kecil atau tidak sesuai dengan ukuran normal. Orang dengan gangguan mata ini biasanya tidak bisa melihat sama sekali pada bagian mata yang sakit, bisa juga melihat namun dengan kemampuan yang sangat rendah.
Meski ilmu pengobatan medis telah berkembang melampaui nalar, hingga saat ini, belum tersedia metode yang dapat mengembalikan fungsi penglihatan pada penyandang mikrophthalmia, meskipun terapi rehabilitatif dan prostetik dapat membantu aspek fungsional dan kosmetik.
Katarak Kongenital
Selama ini jamak yang menyangka bahwa katarak hanya bisa menyerang kelompok lansia. Padahal, faktanya sebagian bayi lahir dalam kondisi katarak kongenital. Faktor genetik adalah pencetus terbanyak dari kejadian terbilang langka ini. Selain itu, katarak kongenital juga dapat terjadi akibat gangguan autoimun, infeksi TORCH, atau kelainan metabolik.
Katarak kongenital masih memiliki harapan sembuh melalui jalur operasi penggantian lensa asli dengan lensa buatan. Hanya saja, tindakan ini harus dilakukan saat bayi berusia 4-6 minggu. Sayangnya, banyak anak yang tidak tertangani dengan cepat sehingga hidup sebagai penyandang disabilitas sampai dewasa.
Penyebab Disabilitas penglihatan Non Bawaan
Disabilitas penglihatan non bawaan terjadi setelah seseorang lahir dan hidup dengan fungsi mata normal sebelumnya. Kebutaan di luar faktor bawaan bisa terjadi secara spontan maupun diawali dengan penurunan kualitas penglihatan secara bertahap terlebih dahulu.
Untuk lebih detailnya, berikut contoh-contoh buta non bawaan beserta hal yang menyebabkannya:
Glaukoma
Kebutaan karena glaukoma dapat terjadi sejak dalam kandungan maupun setelahnya. Namun sebagian besar kasus dialami oleh orang dewasa dan lansia.
Glaukoma adalah kelompok penyakit mata yang merusak saraf optik, biasanya akibat peningkatan tekanan intraokular (tekanan di dalam bola mata). Proses kerusakan saraf ini berlangsung sangat cepat sehingga membuat penderitanya kehilangan penglihatan total hanya dalam hitungan beberapa tahun kemudian. Namun, deteksi dan penanganan dini dapat memperlambat progresivitas glaukoma dan mengurangi risiko kebutaan permanen.
Retinopati Diabetik
Pemicu buta non bawaan lainnya adalah retinopati diabetik. Retinopati diabetik adalah komplikasi diabetes yang memengaruhi retina akibat kerusakan pembuluh darah kecil, yang dapat menyebabkan kebocoran, perdarahan, dan jaringan parut. Lonjakan kadar gula darah menyebabkan penyumbatan pembuluh darah kecil sehingga distribusi nutrisi untuk mata ikut tersendat. Lambat laun kemampuan penglihatan kian memburuk dan bukan mustahil menjadi buta total.
Tidak ada kepastian apakah kebutaan akibat retinopati diabetik ini dapat dipulihkan kembali atau tidak. Hasilnya tergantung pada seberapa serius tingkat keparahan dari kerusakan tersebut dan usia penderitanya. Semakin lanjut usia, tentu saja kemungkinan dapat melihat kembali sangat tipis.
Katarak
Buta non bawaan yang timbul akibat katarak tentu dipengaruhi oleh faktor yang berbeda daripada katarak kongenital. Bila katarak kongenital cenderung karena pengaruh genetik, maka katarak non bawaan terjadi karena intensitas radiasi sinar ultraviolet, polusi udara di atas ambang toleransi, hingga kebiasaan merokok.
Katarak bukan hanya mengurangi ketajaman penglihatan, tapi juga berisiko menyebabkan terjadinya kebutaan. Sebagian besar kasus kebutaan akibat katarak dapat dipulihkan melalui operasi penggantian lensa. Namun, jika kebutaan disebabkan oleh degenerasi saraf retina atau atrofi saraf optik, maka operasi katarak mungkin tidak mengembalikan penglihatan.
Kesimpulan
Kesimpulannya, harapan pemulihan bagi penyandang disabilitas penglihatan tergantung pada penyebab, tingkat keparahan, usia, dan kecepatan penanganannya. Semakin dini deteksi dan penanganan dilakukan, semakin besar peluang pemulihan fungsi penglihatan secara optimal, tergantung pada jenis dan penyebab gangguan. Semoga bermanfaat.