Rekrutmen yang Adil untuk Penyandang Disabilitas

Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan jumlah pengangguran tertinggi di Asia Tenggara. Menurut data statistik terbaru dari BPS pada bulan Mei 2025, bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 4,76%. Dengan jumlah angkatan kerja sebanyak 153,05 juta orang, maka jumlah pengangguran terbuka dihitung sebanyak 7,28 juta. Pertumbuhan jumlah penduduk, ketersediaan lapangan pekerjaan yang terbatas dan kurang variatif, serta persyaratan yang terlalu memberatkan pencari kerja, termasuk rekrutmen untuk penyandang disabilitas yang terbatas, merupakan beberapa penyebab tingginya angka pengangguran di negara ini

Dalam dunia kerja, penyandang disabilitas seringkali menghadapi tantangan yang lebih besar dan ketidakadilan. Meski Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 mewajibkan BUMN, BUMD, dan perusahaan swasta untuk memberdayakan penyandang disabilitas minimal 2% dari total pekerja, praktik di lapangan masih belum sepenuhnya sesuai.

Masih banyak perusahaan yang melakukan diskriminasi dalam proses rekrutmen penyandang disabilitas. Padahal, menurut KEMENKO PMK, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia diperkirakan mencapai 22,97 juta jiwa, atau sekitar 8,5% dari total penduduk. Sayangnya, dari angka tersebut, hanya sekitar 763.925 orang yang tercatat bekerja, atau sekitar 0,55% dari total tenaga kerja nasional.

Artinya, sebagian besar penyandang disabilitas yang sebenarnya memiliki potensi dan keahlian di bidang tertentu belum terserap di dunia kerja. Penyerapan tenaga kerja disabilitas pun masih jauh dari angka 2% seperti yang diamanatkan undang-undang.

Kaidah Rekrutmen yang Adil untuk Penyandang Disabilitas

Selain sempitnya peluang penerimaan tenaga kerja disabilitas, cara-cara rekrutmen selama ini umumnya belum memenuhi standar yang merangkul semua pihak. Hal itu menyebabkan ketidaknyamanan dan menjatuhkan mental para penyandang disabilitas. Bahkan rawan menimbulkan misscom antara kandidat dengan interviewer. 

Untuk itu perusahaan-perusahaan yang membuka kesempatan kerja untuk para penyandang disabilitas, hendaknya menerapkan kaidah rekrutmen disabilitas yang adil dan merangkul semua pihak. Adapun kaidah yang dimaksud, antara lain:

Etika Berkomunikasi dengan Kemampuan Calon Pekerja

Etika berkomunikasi dengan penyandang disabilitas tentu tidak bisa sama dengan non disabilitas. Sebagian penyandang disabilitas terbata-bata ketika berkomunikasi dalam bentuk verbal. Ini biasanya dialami oleh kelompok tunawicara. Sementara yang lainnya bahkan ada yang mengalami hambatan pendengaran total atau tuli. 

Penggunaan bahasa isyarat sangat penting dalam proses rekrutmen penyandang disabilitas. Selain mempermudah mereka menangkap informasi, bahasa isyarat juga mencegah terjadinya salah persepsi.

Di samping penggunaan bahasa isyarat, etika komunikasi dengan mereka yang perlu mengindahkannya, antara lain: 

  • Berbicara dengan ritme yang tidak terlalu cepat namun teratur. 
  • Menggunakan kalimat-kalimat yang tidak terlalu panjang dan berbelit-belit. 
  • Menghindari penggunaan istilah-istilah yang merendahkan seperti ‘cacat’, ‘abnormal’, ‘buta’, ‘pekak’, dan istilah negatif lainnya. Sebagai gantinya, gunakan istilah yang lebih halus seperti penyandang disabilitas, tunanetra, dan tuli. 
  • Menghindari frasa “Lihat” atau “Dengar” ketika menyampaikan perintah. Dua frasa tersebut tergolong sensitif bagi kelompok tuli dan tunanetra. Maka alternatifnya bisa menggunakan frasa yang lebih merangkul semua: “Pelajari lebih lanjut”.

Mencantumkan Syarat yang Relevan

Sudah rahasia umum bahwa rerata perusahaan-perusahaan di Indonesia seringkali membuka lowongan kerja namun dengan sejumlah persyaratan yang tak relevan dengan bidang pekerjaannya. Padahal, penyandang disabilitas cenderung lebih fokus pada apa yang dapat mereka lakukan untuk perusahaan tersebut. 

Namun, persyaratan yang tak relevan seringkali jadi batu sandungan yang membuat langkah kelompok disabilitas tertahan. Tak ada harapan untuk maju. 

Contohnya, perusahaan mengharuskan seorang kasir berdiri tegak sepanjang jam kerja. Persyaratan tersebut tentu menyulitkan calon pekerja yang mengalami gangguan ortopedi. Dimana mereka tidak terlalu tahan berdiri terlalu lama meski dengan alat bantu. Padahal, mau dalam keadaan duduk ataupun berdiri, kasir tetap bisa menjalankan pekerjaannya. 

Lebih tidak relevan lagi jika perusahaan mempersoalkan tinggi badan pelamar kerja. Sementara pelamar adalah orang yang duduk di kursi roda. 

Dua contoh di atas jelas tidak mencerminkan proses rekrutmen penyandang disabilitas yang adil dan setara. Sebaiknya, singkirkan persyaratan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Fokus pada keterampilan yang perusahaan butuhkan dari pelamar kerja disabilitas tersebut. 

Lokasi dan Tempat Uji atau Wawancara yang Aksesibel

Proses perekrutan seharusnya tidak menyulitkan penyandang disabilitas untuk mengakses lokasi ujian atau wawancara. Sebagian besar perusahaan melakukan proses perekrutan langsung di kantor. Namun jika perusahaan berkomitmen memberi peluang untuk pelamar disabilitas, perusahaan tersebut tidak keberatan menyediakan akomodasi semacam transportasi antar-jemput. 

Jika perusahaan tidak dapat menyediakan transportasi, alternatif lainnya adalah dengan menyediakan akses seperti wawancara online. Dengan kemudahan-kemudahan tersebut, partisipasi disabilitas dalam dunia kerja akan meningkat. 

Menjaga Kontak Mata yang Ramah dan Menghargai

Mata memainkan peranan penting dalam komunikasi. Eye contact atau kontak mata saat berkomunikasi merupakan bagian dari sikap menghargai lawan bicara. Menunjukkan rasa ketertarikan atas bahan perbincangan. Di sisi lain tatapan mata dapat menyiratkan apa yang tersembunyi di hati seseorang.

Karenanya, dalam rekrutmen disabilitas hendaknya pewawancara mampu menjaga kontak mata yang bersahabat. Hal-hal yang sebaiknya tidak dilakukan saat eye contact dengan penyandang disabilitas, yakni:

  • Hindari memandang lawan bicara dari atas kepala sampai ujung kaki sekaligus pada satu menit pertama. Ini terkesan seperti tatapan menyelidik yang kurang ramah. 
  • Kurangi mengernyitkan dahi saat mendengar lawan berbicara. Kernyitan dahi merupakan isyarat bingung atau tidak paham atas apa yang sedang disampaikan lawan bicara. Bagi non disabilitas ini mungkin bukan suatu masalah, namun tidak dengan penyandang disabilitas yang sensitivitasnya lebih tinggi. Terlebih mereka yang mengalami hambatan berbicara. 
  • Tidak menatap tajam dan lama. Tatapan tajam dan lama menimbulkan kesan intimidasi. Alihkan tatapan tiap beberapa menit sekali agar suasana percakapan lebih rileks. 

Melibatkan Organisasi Masyarakat

Minimnya partisipasi penyandang disabilitas dalam dunia kerja terkadang karena akses informasi yang tidak sampai pada mereka. Digenapi lagi dengan ketidaktahuan perusahaan akan keberadaan para penyandang disabilitas yang potensial. 

Untuk keperluan rekrutmen disabilitas, perusahaan perlu bermitra dengan organisasi masyarakat, LSM, atau platform khusus yang memang fokus pada pemberdayaan penyandang disabilitas. Salah satu contohnya adalah Parakerja, sebuah perusahaan yang menyediakan layanan rekrutmen inklusif dan pelatihan kerja bagi penyandang disabilitas di Indonesia.

Dengan menjalin kemitraan seperti ini, perusahaan dapat menjangkau lebih banyak kandidat disabilitas potensial yang sedang mencari pekerjaan. Sistem jaringan dari organisasi atau platform tersebut juga membantu perusahaan mendapatkan eksposur dari berbagai kelompok penyandang disabilitas, termasuk yang sebelumnya sulit dijangkau.

Dengan demikian, perusahaan bisa memberikan kesempatan kerja yang lebih merata untuk semua kelompok disabilitas, selama mereka memenuhi kualifikasi sesuai kebutuhan perusahaan. Langkah ini juga menjadi bukti nyata bahwa perusahaan turut berkontribusi dalam menciptakan dunia kerja yang inklusif dan adil bagi semua. Semoga di masa depan, semakin banyak perusahaan yang membuka peluang bagi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi dalam dunia kerja.