Akses Medis bagi Penyandang Disabilitas, Sudahkah Terpenuhi

Tidak mengejutkan bahwa layanan medis bagi penyandang disabilitas di Indonesia masih jauh dari kata ideal. Banyak penyandang disabilitas mengeluhkan sulitnya akses dan rendahnya kualitas layanan kesehatan yang mereka terima.

Contohnya adalah Tika (26 tahun), yang menggunakan kursi roda untuk beraktivitas sehari-hari. Ia mengaku sangat kesulitan ketika mengakses puskesmas dekat rumahnya karena tidak memiliki jalur khusus disabilitas.

Tika harus bersusah payah menaiki jalanan semen yang cukup terjal menuju pintu puskesmas. Apalagi puskesmas tersebut lebih banyak memiliki tangga daripada jalan landai yang bisa ia lewati.

Akibatnya, Tika harus didampingi keluarga atau kerabat untuk mendorong kursi roda atau membantunya naik tangga di puskesmas. Sama seperti Tika, Wira (31 tahun) juga mengalami kendala yang serupa. Ia yang sejak lahir mengalami gangguan bicara/tunawicara sering kali memendam kegusaran atas perilaku sebagian tenaga medis. Pasalnya, beberapa tenaga medis kerap meremehkannya setelah mengetahui bahwa Wira adalah penyandang tunawicara.

Ia kerap menerima sikap dan ucapan yang tidak menyenangkan. Tak jarang, tenaga medis itu mengabaikannya karena tidak memahami apa yang ia katakan. Wira yang kerap terbata-bata ketika berbicara, harus berusaha keras menjelaskan maksud perkataannya yang sering kali memicu respons negatif dari tenaga medis.

Sepersepuluh Penduduk Indonesia adalah Penyandang Disabilitas

Tika dan Wira hanyalah contoh kecil dari minimnya layanan medis untuk disabilitas. Kekurangan itu terpotret dari kesulitan fisik dalam mengakses layanan kesehatan, desain fasilitas layanan kesehatan yang tidak ramah bagi penyandang disabilitas, hingga sikap atau perlakuan tenaga medis yang kerap tidak menghargai mereka.

Bahkan tidak sedikit yang masih berpikiran bahwa penyandang disabilitas sebagai kelompok minoritas dengan jumlah yang dianggap kecil dan kurangnya kontribusi mereka di dalam masyarakat menjadi alasan pemikiran tersebut. Sayangnya, layanan medis untuk disabilitas di banyak tempat masih kurang diperhatikan secara optimal.

Padahal, jika ditilik dari jumlahnya, keberadaan penyandang disabilitas di Indonesia menunjukkan fakta yang mengejutkan. Mengacu pada data Survei Ekonomi Nasional (Susenas) pada tahun 2020, tercatat sebanyak 28,05 juta penyandang disabilitas di Indonesia.

Jumlah tersebut setara dengan lebih dari sepuluh persen dari total penduduk Indonesia. Menurut UNESCAP, Indonesia termasuk negara dengan jumlah penyandang disabilitas yang tinggi di Asia Tenggara.

Kedua data itu tentunya membantah asumsi bahwa penyandang disabilitas adalah kaum minoritas secara jumlah. Begitu pula dengan anggapan bahwa penyandang disabilitas minim kontribusinya di masyarakat sehingga kemudian dianggap sebagai beban.

Banyak publik figur penyandang disabilitas yang menginspirasi masyarakat melalui prestasi mereka. Salah satu contohnya adalah Putri Ariani, sosok inspiratif yang terlahir sebagai penyandang tunanetra. Namun, ia berhasil memukau banyak orang dengan suara emas dan bakatnya dalam membuat alunan melodi yang indah. Ketenaran namanya pun bukan hanya di Indonesia tapi hingga melanglang dunia.

Begitu pula dengan sosok Surya Sahetapy. Putra bungsu dari Dewi Yull dan Ray Sahetapy ini punya prestasi akademik membanggakan. Ia berhasil meraih gelar magister di Rochester Institute of Technology (RIT) meski menyandang tunarungu. Surya juga menyabet 3 penghargaan sekaligus, yakni: International Student Outstanding Service Award, NTID Graduate College Delegate, dan The Outstanding Graduating Student Award in The Master’s Degree.

Regulasi bagi Penyandang Disabilitas

Bagi mereka yang tidak mengalami disabilitas, penting untuk tetap memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas. Apalagi di Indonesia telah ada payung hukum yang mengatur berbagai hak penyandang disabilitas, yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas.

Perangkat hukum tersebut menyebutkan setidaknya ada lima hak bagi penyandang disabilitas yang diakui dan dilindungi oleh negara. Kelima hak itu adalah:

  1. Hak kesetaraan dan non-diskriminasi.
  2. Hak aksesibilitas.
  3. Hak untuk hidup.
  4. Hak peningkatan kesadaran.
  5. Hak kebebasan dari eksploitasi dan kekerasan.

Adapun layanan medis untuk disabilitas termasuk bagian dari hak aksesibilitas. Setiap penyandang disabilitas berhak memperoleh kesempatan sama terhadap fasilitas dan layanan publik yang disediakan oleh pemerintah maupun swasta.

Artinya, dalam konteks layanan medis untuk disabilitas, rumah sakit pemerintah dan swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan yang menyeluruh dan setara tanpa diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Layanan medis itu bisa diawali dengan menyediakan sarana dan prasarana, seperti tempat parkir khusus disabilitas, jalur pemandu (guiding block), ramp, kursi tunggu prioritas, kartu antre prioritas, serta alat bantu seperti tongkat dan alat bantu dengar.

Melansir dari liputan6.com, Psikolog dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Tri Puspitarini menyampaikan bahwa pada tahun 2020, layanan medis untuk disabilitas masih terbatas pada aspek dasar seperti penyediaan alat bantu.

Ada banyak layanan medis yang kurang peka bahkan abai terhadap kebutuhan disabilitas. Padahal menurut Tri Puspitarini, layanan medis yang berkualitas adalah salah satu indikator peningkatan taraf hidup penyandang disabilitas.

Selain sarana dan prasarana, layanan kesehatan bagi disabilitas juga mencakup kesadaran dan kepekaan dari tenaga medis. Setiap tenaga medis (dokter, perawat, serta staf rumah sakit) harus dibekali kemampuan berkomunikasi yang efektif dengan penyandang disabilitas. Mereka juga perlu memiliki wawasan luas serta pola pikir positif terhadap penyandang disabilitas.

Kemampuan ini nantinya melahirkan sikap dan tindakan tulus menghargai keberadaan disabilitas. Kondisi disabilitas, baik fisik maupun non-fisik, bukan alasan bagi tenaga medis untuk mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Jika hal ini telah menjadi pola dan karakter dalam diri setiap tenaga kesehatan, maka masa depan layanan medis bagi penyandang disabilitas di Indonesia dapat menjadi lebih baik.