Memahami Kebutuhan Penyandang Disabilitas Mental Sejak Dini

Sebagian penyandang disabilitas mental di Indonesia masih berusia anak-anak. Karena memiliki tantangan dalam aspek kognitif, sosial, atau emosi, perkembangan anak-anak tersebut seringkali lebih lambat dibandingkan teman sebayanya. Oleh karena itu, kebutuhan anak-anak dengan disabilitas mental pun berbeda dari anak-anak lainnya.

Keterbatasan menyebabkan tingkat ketergantungan penyandang disabilitas mental terhadap orang lain jauh lebih besar. Namun, hal ini tidak berarti mereka tidak dapat mandiri sepanjang hidupnya. Para ahli sepakat bahwa peran keluarga sangat berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan anak dengan disabilitas mental.

Di bawah pengasuhan yang tepat, kemandirian anak dapat dilatih dengan cara memahami dan memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas mental sejak usia dini. Dengan demikian, kemampuan mereka pun dapat meningkat, meski secara perlahan.

Berbicara tentang kebutuhan penyandang disabilitas mental, tentu ada banyak hal yang perlu diperhatikan di dalamnya. Kebutuhan setiap anak dengan disabilitas mental tidak selalu sama. Hal ini tergantung pada kondisi anak dan sejauh mana mereka merespons rangsangan yang diberikan.

Bagi orangtua yang memiliki anak disabilitas mental, sangat dianjurkan untuk mengonsultasikan pemenuhan kebutuhan tersebut kepada psikolog. Jangan sampai sesuatu yang kita anggap sebagai kebutuhan malah menjadi beban yang membuat mereka tertekan.

Secara umum, setidaknya ada beberapa hal yang jadi kebutuhan dasar penyandang disabilitas di bawah umur, yakni:

Kemampuan Berbahasa

Bahasa merupakan salah satu kebutuhan dasar yang memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan orang lain, baik dalam komunikasi verbal, tulisan, maupun isyarat. Bahasa juga memungkinkan individu untuk bergaul dan berkembang di lingkungan sosial.

Keterlambatan bicara pada anak dengan disabilitas mental umumnya disebabkan oleh gangguan kognitif, berbeda dengan anak tuli atau tunawicara yang mengalami hambatan sensorik atau fisik. Kesulitan berbicara pada anak tuli dan tunawicara disebabkan oleh hambatan fisik atau sensorik, berbeda dari anak dengan disabilitas mental yang memiliki hambatan kognitif. Permasalahan bahasa pada anak dengan disabilitas mental bisa berasal dari berbagai faktor, seperti gangguan dalam memori kerja, pemrosesan bahasa, atau kemampuan konsentrasi, yang membuat perbendaharaan kata mereka terbatas.

Namun, kondisi ini tidak selalu bersifat permanen atau tidak dapat ditingkatkan.

Anak disabilitas mental dengan kondisi ringan hingga sedang masih memiliki harapan besar untuk dapat berkomunikasi menggunakan bahasa verbal. Bantu mereka untuk mengingat dan menambah jumlah kosakata setiap harinya. Meski sebagian anak mungkin memiliki tantangan dalam fokus, dengan rutinitas interaksi yang konsisten, kemampuan berbicara mereka tetap bisa diasah secara bertahap.

Pendidikan dan Sekolah yang Tepat

Sebagian anak disabilitas mental memiliki tingkat IQ dalam rentang 50–70, tergantung pada tingkat keparahan kondisinya. Sementara yang non disabilitas sekurang-kurangnya di atas 70. Meski di bawah rata-rata normal, bukan berarti anak disabilitas mental tidak butuh sekolah. Dengan mengikuti pendidikan, anak-anak dapat mengalami kemajuan dalam hal pengetahuan, konsentrasi, kemampuan beradaptasi, dan rasa percaya diri.

Sayangnya, masih ada orangtua yang merasa malu atau belum siap menerima kondisi anaknya yang berkebutuhan khusus. Akibatnya, kebutuhan pendidikan anak dengan disabilitas mental sering kali tidak terpenuhi dengan baik oleh orangtua atau lingkungan terdekatnya sendiri. Terutama perihal pendidikan. Banyak anak disabilitas mental tidak mengenyam pendidikan karena orangtua merasa malu atau kehilangan harapan. Tanpa dukungan pendidikan yang memadai, perkembangan mereka pun menjadi terhambat.

Penyandang disabilitas mental membutuhkan sekolah yang dapat menyesuaikan metode pembelajaran dengan kebutuhan khusus mereka. Namun, jumlah sekolah seperti ini masih terbatas. Alternatif lain adalah menyekolahkan mereka ke Sekolah Luar Biasa (SLB) atau sekolah umum yang menerima anak berkebutuhan khusus, tergantung kebutuhan dan potensi anak. Orangtua tidak seharusnya merasa malu, karena SLB merupakan tempat yang dirancang secara khusus untuk mendukung perkembangan akademik dan keterampilan anak disabilitas, lebih sesuai dibandingkan sekolah umum yang belum sepenuhnya mampu mengakomodasi kebutuhan belajar mereka.

Rekreasi dan Hiburan yang Bermanfaat

Hiburan juga merupakan kebutuhan penting yang mungkin sulit mereka ungkapkan secara langsung. Seperti anak pada umumnya, anak dengan disabilitas mental juga membutuhkan rekreasi. Rekreasi tak sekadar bermanfaat sebagai kegiatan hiburan, tapi juga sebuah cara merasakan pengalaman baru. 

Semakin banyak anak melihat dan merasakan sesuatu yang baru, semakin terasah pula memorinya dan kecakapannya. Jika anak cenderung lebih banyak beraktivitas di dalam rumah, sesekali ajaklah mereka berekreasi ke alam terbuka. Perkenalkan mereka pada hal-hal yang jarang atau belum pernah mereka lihat sebelumnya. Misalnya, pergi ke kebun binatang, ke pertunjukan seni, dan sebagainya. 

Keterampilan Hidup

Orangtua perlu menyadari bahwa anak disabilitas mental juga memerlukan keterampilan hidup sebagai bekal masa depan mereka. Hindari sikap terlampau memanjakan mereka dengan alasan kasihan atau bahkan meragukan kemampuan mereka sebelum mengujinya. 

Banyak sekali jenis keterampilan yang dapat diajarkan oleh orangtua kepada anak disabilitas mental sesuai tingkat usia. Contoh paling sederhana seperti membiasakan mereka mengambil dan menyusun pakaian sendiri, makan sendiri, menyisir rambut, juga membereskan mainan setelah bermain. Keterampilan tersebut memang tampak sederhana. Namun, dari hal-hal sederhana itulah mereka mulai belajar kemandirian. 

Kebutuhan Pendidikan Seksual

Pendidikan seksual masih belum sepenuhnya diterima di sebagian masyarakat Indonesia, terutama jika ditujukan pada anak-anak. Alih-alih untuk anak berkebutuhan khusus, pada anak-anak non disabilitas pun pendidikan seksual ini amat jarang diberikan. 

Kebutuhan akan pengetahuan seksual seolah-olah sengaja diabaikan dengan alasan etika. Padahal, pendidikan seksual berfokus pada pemahaman tubuh, batasan pribadi, kesehatan reproduksi, pubertas, serta perubahan akibat hormon. Pengetahuan itu diberikan agar mereka dapat melindungi diri dari risiko-risiko buruk dan mempersiapkan diri ketika memasuki usia pubertas.

Teman Bermain dan Bercerita

Penyandang disabilitas mental di bawah umur juga butuh teman bermain dan bercerita. Anak yang jarang dibawa bersosialisasi ke luar rumah akan sulit menemukan teman baru. Yntuk itu, bantulah mereka menemukan teman-teman sebaya dengan cara mengajak mereka beraktivitas di luar rumah. Misalnya, mengikuti kursus, permainan kelompok, atau kegiatan sosial lainnya.

Itulah beberapa contoh kebutuhan dasar anak dengan disabilitas mental. Dengan memahami kebutuhan penyandang disabilitas mental, kita tidak hanya mendukung tumbuh kembang mereka sebagai manusia, tetapi juga mengapresiasi kehadiran mereka sebagai bagian yang berharga dalam keluarga. Semoga bermanfaat.