Jasa juru bahasa isyarat memegang peranan penting dalam menjembatani komunikasi antara penyandang disabilitas dan masyarakat umum. Di banyak negara, profesi ini diminati banyak orang, tetapi di Indonesia justru sebaliknya. Berbagai tantangan yang dihadapi juru bahasa isyarat membuat tidak banyak orang yang mau menggeluti profesi ini secara serius.
Jumlah juru bahasa isyarat di Jakarta masih tergolong sangat terbatas. Jika di kota megapolitan jumlahnya hanya sebanyak itu, bagaimana dengan kota-kota kecil? Bahkan, ada daerah yang sama sekali tidak memiliki juru bahasa isyarat. Akibatnya, penerapan program-program yang melibatkan penyandang disabilitas dalam berbagai kegiatan masyarakat menjadi sulit dilaksanakan secara optimal.
Contents
- 1 Tantangan dan Problematika Juru Bahasa Isyarat
- 1.1 Kemajuan Teknologi Penerjemahan Otomatis Berbasis Kecerdasan Buatan
- 1.2 Penyebaran Teknologi yang Belum Merata
- 1.3 Keragaman Jenis Bahasa Isyarat
- 1.4 Keterbatasan Kursus Belajar Bahasa Isyarat
- 1.5 Proses Sertifikasi yang Lambat dan Rumit
- 1.6 Honorarium yang Tidak Seimbang dengan Jasa
- 1.7 Pandangan Masyarakat terhadap Profesi Juru Bahasa Isyarat
Tantangan dan Problematika Juru Bahasa Isyarat
Tantangan yang dihadapi juru bahasa isyarat tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga meliputi hambatan sistemik dan struktural. Seperti apa problematika tersebut? Mari kita bahas satu per satu.
Kemajuan Teknologi Penerjemahan Otomatis Berbasis Kecerdasan Buatan
Kemajuan teknologi membantu mengatasi berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari. Namun, perkembangan teknologi kadang menyebabkan beberapa profesi tergeser karena digantikan oleh mesin.
Tanda-tanda tersebut mulai terlihat di bidang penerjemahan dan menjadi salah satu tantangan bagi juru bahasa isyarat. Perangkat penerjemah otomatis berbasis kecerdasan buatan sedang dikembangkan, tetapi akurasinya masih terbatas dan belum mampu menggantikan kemampuan juru bahasa isyarat manusia secara menyeluruh. Akibatnya, juru bahasa isyarat harus bersaing keras dengan mesin demi mempertahankan profesi ini.
Penyebaran Teknologi yang Belum Merata
Masih terkait dengan teknologi, selain menjadi “ancaman” bagi keberlangsungan profesi interpreter, ketidakmerataan kemajuan teknologi membuat juru bahasa isyarat di daerah pelosok sulit beradaptasi dengan alat-alat digital. Istilah yang umum digunakan adalah “gaptek” (gagap teknologi).
Dalam perkembangan profesi, juru bahasa isyarat dituntut untuk dapat menggunakan teknologi digital seperti internet dan aplikasi konferensi video, terutama untuk mendukung komunikasi jarak jauh. Namun, hal ini menjadi tantangan besar bagi mereka yang tinggal di daerah dengan keterbatasan infrastruktur digital.
Mempertahankan budaya berbahasa isyarat manual yang telah lama terbentuk memang niat baik. Namun, zaman terus berkembang. Teknologi akan membawa pembaruan dan sedikit perubahan dari konsep lama ke konsep baru, termasuk dalam penggunaan bahasa isyarat.
Kemampuan beradaptasi terhadap kemajuan teknologi akan meningkatkan nilai juru bahasa isyarat. Sebaliknya, ketidaksiapan beradaptasi dapat menurunkan nilainya.
Keragaman Jenis Bahasa Isyarat
Ragam bahasa isyarat di dunia mencapai ratusan jenis. Hal ini disebabkan karena sebagian besar bahasa isyarat terbentuk secara spontan dan kemudian menjadi kebiasaan turun-temurun. Tidak ada aturan baku yang membatasi. Selama suatu isyarat dapat dipahami oleh kedua pihak yang berkomunikasi, isyarat tersebut dapat digunakan.
Banyaknya jenis bahasa isyarat menjadi tantangan sekaligus permasalahan bagi juru bahasa isyarat. Belum tentu seorang interpreter menguasai semua jenis bahasa isyarat yang ada. Sementara reputasi seorang interpreter dipengaruhi oleh luasnya jangkauan dan pengalaman kerjanya.
Meskipun Pemerintah menetapkan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) sebagai standar untuk keperluan formal, keberagaman bahasa isyarat lain seperti BISINDO tetap digunakan oleh komunitas tuli secara luas. Jadi, untuk kegiatan atau forum formal, SIBI digunakan sebagai bahasa isyarat pengantar.
Keterbatasan Kursus Belajar Bahasa Isyarat
Penyediaan kursus masih jauh dari kebutuhan saat ini, sehingga menghambat partisipasi penyandang disabilitas, khususnya insan tuli, dalam kegiatan-kegiatan penting.
Bagaimana tidak, insan tuli tidak akan memahami apa yang disampaikan pembicara tanpa bantuan juru bahasa isyarat.
Ketidakseimbangan antara jumlah interpreter dan kebutuhan juga disebabkan oleh keterbatasan lembaga kursus, biaya pendidikan, dan kurangnya dukungan serta sosialisasi mengenai pentingnya profesi ini. Semakin jauh ke daerah pinggiran, lembaga kursus semakin langka. Keterbatasan ini menyebabkan biaya belajar menjadi mahal dan sulit dijangkau, sehingga minat belajar semakin menurun.
Proses Sertifikasi yang Lambat dan Rumit
Beberapa penyelenggara acara mengharuskan juru bahasa isyarat memiliki sertifikat kompetensi terlebih dahulu. Sayangnya, proses mendapatkan sertifikat tersebut sulit dan memakan waktu lama. Lebih menyulitkan lagi, layanan sertifikasi belum tersedia di semua kota.Â
Selain pengakuan dari komunitas Tuli sebagai legitimasi kompetensi, saat ini mulai berkembang juga sertifikasi formal yang bertujuan meningkatkan standar profesi juru bahasa isyarat. Syaratnya, mereka harus aktif berinteraksi dengan insan tuli dan menunjukkan kepedulian terhadap komunitas disabilitas dalam bentuk apa pun.
Rumitnya proses sertifikasi ini sering disorot dalam FGD yang melibatkan kelompok pemerhati sosial dan dinas pemerintahan. Lembaga Women Disability Crisis Centre pernah mengusulkan agar sertifikat kompetensi tidak menjadi syarat mutlak bagi juru bahasa isyarat dalam situasi mendesak atau darurat, misalnya untuk penyelesaian kasus hukum.
Namun, sampai kini gagasan tersebut belum mendapatkan kesepakatan bersama, sehingga sertifikasi masih menjadi syarat mutlak yang tidak dapat ditawar.
Honorarium yang Tidak Seimbang dengan Jasa
Problematika ini cukup miris, terutama soal honorarium. Banyak juru bahasa isyarat menerima honor yang sangat minim, terutama mereka yang belum bersertifikasi. Bahkan, ada yang bekerja secara sukarela arena kepedulian terhadap rekan-rekan penyandang disabilitas.
Situasi ini menyebabkan sebagian orang memandang profesi ini hanya sebagai pekerjaan sampingan, karena secara finansial profesi ini belum memberikan penghasilan yang memadai.
Namun, keadaan berbeda jika dibandingkan dengan nasib interpreter di negara maju, di mana tarif jasa per jam bisa mencapai 300-700 ribu rupiah, belum termasuk biaya transportasi jika kegiatan berlangsung di luar kota.
Pandangan Masyarakat terhadap Profesi Juru Bahasa Isyarat
Profesi juru bahasa isyarat sering kurang mendapatkan pengakuan prestisius dari sebagian masyarakat karena interaksi utamanya adalah dengan komunitas penyandang disabilitas, yang masih menghadapi stigma sosial. Oleh sebab itu, tidak banyak yang bercita-cita menjadi juru bahasa isyarat. Bahkan, para praktisi di bidang ini sering dipandang sebelah mata dan mendapat tekanan dari lingkungan sekitar.
Dari poin-poin di atas, dapat disimpulkan bahwa problematika juru bahasa isyarat tergolong kompleks. Semoga keberadaan juru bahasa isyarat mendapat perhatian serius dari pemerintah, sebab program pelibatan penyandang disabilitas dalam berbagai aspek kehidupan tidak dapat berjalan optimal tanpa keterlibatan aktif juru bahasa isyarat.