Setiap tanggal 3 Desember, seluruh dunia termasuk Indonesia memperingati Hari Disabilitas Internasional. Pada hari tersebut, berbagai persoalan mengemuka, salah satunya tentang program pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas.
Mengapa program pendidikan inklusif penting untuk dibahas? Setidaknya ada empat hal yang menjadi permasalahan bagi penyandang disabilitas. Pertama, terbatasnya lapangan pekerjaan. Kedua, tingginya harga kebutuhan pokok. Ketiga, akses fasilitas kesehatan yang belum memadai. Dan keempat, kesempatan yang tidak sama dengan non-disabilitas dalam memperoleh pendidikan berkualitas.
Permasalahan pertama dan kedua berkaitan dengan aspek ekonomi, yang ketiga dengan aspek kesehatan, dan keempat pada aspek pendidikan yang menjadi fokus pembahasan. Pendidikan adalah aspek penting untuk meningkatkan kualitas hidup penyandang disabilitas. Jika hak pendidikan bagi penyandang disabilitas dapat terpenuhi secara optimal, masalah terkait aspek ekonomi dan kesehatan bisa secara tidak langsung terselesaikan.
Contohnya, penyandang disabilitas yang memperoleh pendidikan berkualitas dapat menjadi tenaga kerja yang terdidik dan terlatih, sehingga lebih berpeluang mendapatkan pekerjaan yang layak. Dengan kondisi ekonomi yang mapan, ia juga lebih mudah mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas. Sebaliknya, tanpa pendidikan yang layak, peluang penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan akan kecil, dan mereka sulit keluar dari jerat kemiskinan.
Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas
Setelah memahami pentingnya pendidikan bagi penyandang disabilitas, tantangan selanjutnya adalah kurikulum atau program pendidikan seperti apa yang tepat bagi mereka. Keterbatasan fisik atau mental kerap membuat penyandang disabilitas kesulitan mengikuti kurikulum di sekolah reguler.
Kondisi ini melatarbelakangi adanya kurikulum khusus bagi penyandang disabilitas yang diterapkan di sekolah luar biasa (SLB). Kurikulum di SLB lebih mengedepankan sistem vokasional dibanding akademik, agar peserta didik dapat mengembangkan potensi unik mereka dan siap menghadapi masyarakat.
Pada era 90-an, masyarakat Indonesia lebih mengenal SLB sebagai tempat belajar bagi anak-anak penyandang disabilitas, sementara sekolah reguler tidak menerima mereka. Akibatnya, terjadi segregasi antara penyandang disabilitas dan non-disabilitas.
Namun, memasuki tahun 2000-an, program pendidikan inklusif mulai diperkenalkan. Walaupun sebelumnya, pemerintah sudah merancang sistem serupa yang disebut Pendidikan Terpadu, yang memungkinkan penyandang disabilitas belajar di sekolah reguler asalkan mampu mengikuti sistem pendidikan tersebut.
Pada praktiknya, hanya penyandang disabilitas kategori ringan, terutama disabilitas fisik, yang bisa mengikuti Pendidikan Terpadu. Penyandang disabilitas menengah dan mereka dengan keterbatasan sensorik, intelektual, atau mental belum terakomodir sepenuhnya.
Sistem Pendidikan Terpadu kemudian disempurnakan melalui program pendidikan inklusif, yang membuka kesempatan lebih luas bagi penyandang disabilitas berbagai kategori untuk belajar di sekolah inklusi. Program ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan semua peserta didik, termasuk penyandang disabilitas, dengan menyediakan guru pendukung yang fokus pada proses belajar mereka.
Kurikulum dalam pendidikan inklusif juga tidak terlalu menitikberatkan pada akademik, tetapi juga pada keterampilan hidup, seperti kemampuan berkomunikasi, beradaptasi, dan keterampilan sosial. Program ini mendorong keterlibatan aktif seluruh peserta didik, baik disabilitas maupun non-disabilitas, dalam pembelajaran berbasis masalah.
Masa Depan Program Pendidikan Inklusif
Pendidikan adalah hak setiap orang tanpa memandang latar belakang, status sosial, atau kondisi fisik. Prinsip kesetaraan dalam pendidikan harus menjadi pegangan bersama.
Memperjuangkan program pendidikan inklusif di Indonesia tentu tidak mudah. Ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Masyarakat pun dapat berkontribusi dengan mengubah stigma negatif terhadap penyandang disabilitas. Keterbatasan fisik atau mental bukanlah penghalang bagi mereka untuk berbaur dalam masyarakat.
Stigma negatif harus dilawan dengan menumbuhkan nilai-nilai toleransi dan kepedulian yang sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia. Jika nilai-nilai ini bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, masa depan program pendidikan inklusif di Indonesia akan semakin cerah.