Kursus Baca Tulis Braille: Membuka Akses Literasi bagi Tunanetra

Mata adalah jendela dunia dan buku merupakan gerbang pembuka ilmu pengetahuan. Namun, bagaimana dengan mereka yang terlahir buta atau memiliki gangguan penglihatan? Bagaimana mereka bisa membaca atau menulis? Mereka tentu menghadapi kendala besar dalam mengakses ilmu pengetahuan. Untungnya, kursus baca tulis braille dapat menjadi solusi.

Kemampuan membaca dan menulis dari kursus braille membuka kesempatan bagi tunanetra memperoleh beragam informasi dan pengetahuan. Proses pendidikan pun menjadi lebih mudah karena transfer ilmu pengetahuan tidak lagi terhambat. Komunikasi menggunakan tulisan juga bisa terjadi, baik itu antara sesama tunanetra maupun dengan non-tunanetra.

Inilah alasan mengapa kursus baca tulis braille amat penting bagi penyandang tunanetra. Kursus ini membantu mereka hidup lebih mandiri dan berkualitas. Penyandang tunanetra bisa menggapai impian mereka dengan modal berupa pendidikan yang lebih baik.

Dari Zaman Klasik hingga Modern

Bagi setiap penyandang tunanetra, kehadiran tulisan braille merupakan anugerah. Apalagi kemunculan tulisan braille yang kita kenal sekarang ternyata melewati proses yang amat panjang. Perkembangannya memakan waktu ratusan tahun, bukan hanya belasan atau puluhan tahun.

Beberapa catatan menyebutkan bahwa upaya menciptakan sistem baca-tulis untuk tunanetra telah ada sejak berabad-abad lalu, meskipun belum terdokumentasi secara sistematis. Sekitar abad ke-4, seorang tunanetra di Jepang disebut berupaya menemukan cara untuk bisa membaca dan menulis.

Ia mengukir huruf-huruf pada permukaan kayu yang telah dihaluskan. Tidak tanggung-tanggung, dedikasinya itu berbuah perpustakaan yang ia dirikan untuk menyimpan ukiran-ukiran huruf di kayu, hasil karyanya selama bertahun-tahun.

Berlanjut di Eropa, usaha membantu penyandang tunanetra agar bisa membaca dan menulis juga tidak kenal lelah dilakukan. Medianya bukan hanya kayu, tapi juga menggunakan potongan logam, kulit, tali-temali, hingga kertas.

Namun, hingga abad ke-18, sistem tulisan bagi tunanetra masih belum memadai dan kurang efektif. Sebabnya, tulisan yang ada ketika itu menggunakan bahan atau media yang tidak praktis. Bayangkan, betapa merepotkan membawa potongan kayu, kulit, atau logam ke mana-mana. Bukan hanya berat, tapi juga ukurannya tidak ramah di tangan.

Walaupun kemudian tulisan bagi tunanetra beralih kepada bahan berupa kertas yang lebih ringan, tapi masih terdapat kekurangannya. Hal ini karena tulisan braille awalnya merupakan adaptasi dari tulisan konvensional yang digunakan oleh orang tanpa disabilitas ke mereka yang tunanetra.

Misalnya, aksara Latin yang digunakan di Eropa disederhanakan bentuknya dan tercetak timbul di permukaan kertas. Asumsinya, tulisan timbul itu bisa terbaca oleh tunanetra dengan cara merabanya menggunakan ujung-ujung jari.

Namun bagi penyandang tunanetra, prosesnya tidak semudah yang dibayangkan. Walaupun bisa teraba dengan ujung jari, tapi presisi dari pola-pola tulisan tersebut seringkali tidak tepat. Alhasil, tulisan pun tidak terbaca sempurna.

Tulisan Braille yang Mulai Terkenal

Sampai di sini, hanya segelintir tunanetra yang mampu membaca dan menulis. Sebagian besar tunanetra masih mengalami kesulitan menggunakan aksara khusus. Louis Braille mulai mengembangkan sistem braille pada tahun 1824 dan menerbitkan sistem tersebut secara resmi pada tahun 1829. Terobosan yang ia lakukan itu di kemudian hari menjadi tonggak penting bagi perkembangan baca tulis bagi tunanetra.

Sistem tulisan dari Louis Braille tidak mengadopsi aksara yang digunakan oleh non-disabilitas pada umumnya. Tapi berupa sistem tulisan tersendiri, yakni penggunaan titik-titik timbul yang kreasinya membentuk pola-pola tertentu (sel Braille).

Sistem Braille terdiri dari 63 kombinasi titik dalam satu sel, yang digunakan untuk mewakili huruf, angka, tanda baca, dan simbol lainnya. Sistem Braille tidak secara langsung mengadaptasi huruf visual, melainkan menggunakan pola titik-titik timbul yang dikembangkan dari sistem penulisan malam militer (night writing). Meski awalnya masyarakat tidak langsung menerima tulisan braille, namun seiring waktu semakin banyak yang menyadari kelebihan dari tulisan ini. Bukan hanya tunanetra yang mudah mempelajarinya, tetapi juga para pendidik non-tunanetra namun berkecimpung dalam dunia pendidikan bagi disabilitas juga merasakan kemudahannya.

Akhir abad ke-19, keberadaan kursus baca tulis braille berkembang pesat di seluruh Perancis hingga berlanjut ke negara-negara Eropa. Adapun di Indonesia, tulisan braille masuk pada masa kolonial Belanda, yakni pada awal abad ke-20. Blinden Instituut yang didirikan oleh Dr. Westhoff di Kota Bandung menjadi Lembaga pendidikan pertama dan pusat pengajaran atau kursus baca tulis braille.

Kursus Baca Tulis Braille di Era Modern

Kursus Baca Tulis Braille di Era Modern

Hingga kini, keberadaan tulisan braille masih tidak tergantikan. Tulisan Braille terus berkembang mengikuti perkembangan zaman, termasuk dalam bentuk digital melalui perangkat lunak pembaca layar dan printer braille elektronik.  Jika awalnya hanya membutuhkan alat tulis berupa stylus, reglet, dan kertas braille untuk menulis atau membaca, kini telah banyak alat bantu lainnya.

Misalnya mesin ketik braille hingga pencetak braille berbasis komputer atau digital. Tetap relevan dan eksisnya tulisan braille dari masa ke masa, menunjukkan kesempurnaan dari tulisan tersebut.

Bagi yang tertarik mempelajari tulisan Braille, di mana bisa belajar? Pada masa sekarang, ada banyak tempat yang mengajarkan baca tulis huruf braille. Bukan hanya lembaga pendidikan khusus bagi tunanetra, tapi tempat kursus baca tulis braille juga bisa menjadi pilihan. Biaya kursus bervariasi, biasanya mulai dari ratusan ribu rupiah untuk beberapa kali pertemuan.

Menariknya, selain tempat kursus baca tulis braille, banyak juga penawaran dari guru privat yang bisa diminta datang ke rumah. Tarif pengajarannya kisaran 50-70 ribu rupiah per jam.

Harga kursus atau jasa guru privat sebanding dengan manfaat yang diperoleh. Apalagi bagi penyandang tunanetra, wajib untuk menguasai tulisan braille. Sebab, tulisan Braille tidak hanya meningkatkan literasi, tapi juga merupakan cara yang lebih efektif bagi tunanetra untuk mengerti ejaan, tanda baca, hingga tata bahasa daripada pengajaran melalui audio.

Parakerja menyediakan layanan translasi teks dari format standar ke Bahasa Braille untuk memastikan aksesibilitas informasi bagi individu dengan hambatan penglihatan atau “Teman Netra” yang menggunakan Braille sebagai sarana informasi lebih mudah dan mandiri. Penggunaa braille dapat digunakan dalam beberapa media perlengkapan/peralatan, seperti: Buku, Panduan, Petunjuk Arah, Brosur, kartu Nama dan akses kebutuhan lainnya